Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Rabu, 12 Desember 2007

TelkomFlexi, Serigala Berbulu Domba?

Berita beredar di IITELMIT 2003, Telkom meluncurkan produk berjudul TelkomFelxi. Bagi pengguna telekomunikasi di Indonesia, benda ini menguntungkan karena pulsa-nya di set sama dengan pulsa telepon biasa (PSTN). Di tambah beberapa kemewahan yang tidak dimiliki oleh telepon biasa (PSTN), seperti kemampuan untuk mobile, untuk mengirim SMS maupun MMS. Lha terus, apa bedanya dengan selular? Mengapa pulsanya lebih murah?

Seperti diberitakan KOMPAS, 6 Feb 2003 “WLL-CDMA bisa ancam GSM” & KOMPAS, 26 Mei 2003 “Flexi masih terus tersendat-sendat”, benda tersebut menggunakan teknologi CDMA2000 1X yang pertama kali di deploy bulan Oktober 2000 di Korea. Berdasarkan definisi yang ada dari International Telecommunication Union (ITU), CDMA2000 merupakan keluarga teknologi 3G yaitu next generation mobile services (bukan fixed wireless services) yang dapat memberikan servis suara dan Internet & multimedia berkecepatan tinggi. Di seluruh dunia, pada hari ini ada sekitar 46 jaringan CDMA2000 1X dan 4 jaringan CDMA2000 1xEV-DO yang telah beroperasi secara komersial. Di samping 21 jaringan CDMA2000 1X dan 3 jaringan CDMA2000 1xEV-DO yang akan di operasikan tahun ini, termasuk TelkomFlexi.

Yang menarik untuk di cermati adalah; wajarkah jika benda ini di kategorikan non-selular / non-mobile? Cukup adilkah bagi industri selular lainnya di Indonesia? Atau mungkin regulator sedang di bodohi oleh operator, walaupun mungkin menguntungkan masyarakat tapi tidak menguntungkan industri?

Dari data yang diperoleh dari CDMA Development Group (http://www.cdg.org), hanya ada empat (4) operator CDMA di Indonesia, yaitu PT. Komselindo yang berbasis 2G IS-95A di Jakarta / Jawa Barat, PT Ratelindo 3G CDMA2000 1X untuk selular, PT Wireless Indonesia 3G CDMA2000 1X & 1xEV-DO untuk PCS di 1.9GHz di Jakarta, dan Telkom yang menggelar sebanyak enam (6) infrastruktur 3G CDMA2000 1X maupun 2G IS-95A.

Berdasar laporan CDG (http://www.cdg.org), tampaknya benda tersebut di gelar menggunakan vendor Samsung pada peralatan Mobile Service Switching Center Network (MSC), Base Station Controller (BSC) dan juga pada Base Transmitter Station (BTS) untuk di implementasi dalam jaringan selular CDMA2000 1X (bukan fixed wireless) pada band 800MHz di Jawa, Bali, Kalimantan & Sulawesi. Bedanya dengan teknologi GSM yang digunakan Satelindo, IM3, Telkomsel dll? Beda yang mendasar dengan GSM terletak pada teknik modulasi yang menggunakan Code Division Multiple Access (CDMA); sedang GSM menggunakan Time Division Multiple Access (TDMA), dan tentunya peralatan radio yang digunakan tergantung frekuensi yang di gunakan. Sisa peralatan yang digunakan pada prinsip-nya tidak berbeda jauh, karena jaringan GSM-pun menggunakan MSC, BSC dan BTS. Jadi bila kita bandingkan infrastruktur GSM dan CDMA2000 pada dasarnya keduanya jelas-jelas merupakan infrastruktur telekomunikasi bergerak (mobile) digital.

Herannya mengapa benda tersebut di klaim menjadi fixed wireless? Padahal jelas-jelas CDMA2000 1X adalah teknologi selular 3G, mempunyai fitur yang sama dengan selular GSM yang kita gunakan saat ini, seperti SMS, MMS dan kemampuan untuk mobile yang jelas-jelas terpampang di iklan benda tersebut.

Argumentasi bahwa benda tersebut mempunyai limited mobility, hanya mobile di sebuah wilayah terbatas pun sebetulnya aneh. Mengapa? Sebuah benda merupakan fixed wireless, jika dan hanya jika tidak berpindah Base Transmitter Station (BTS). Apapun yang dapat pindah BTS merupakan telekomunikasi mobile. Adakah contoh fixed wireless CDMA di Indonesia? Jelas ada. Tidak usah jauh-jauh, yaitu infrastruktur wireless internet yang menggunakan CDMA DSSS dengan protokol IEEE 802.11 di frekuensi 2.4GHz & 5.8GHz yang di gunakan di WARNET, sekolah untuk akses internet murah yang sialnya sering di sweeping & di palak. Tapi jelas instalasi peralatan CDMA DSSS IEEE 802.11 tersebut benar-benar dibuat untuk fixed wireless dan tidak untuk berpindah-pindah Access Point (AP) pada kecepatan 11-54Mbps yang jauh lebih cepat daripada infrastruktur akses yang di gelar Telkom. Herannya, mengapa regulator bisa termakan argumentasi limited mobility?

Sialnya dengan berdalih limited mobility dan mengklaim fixed wireless, akhirnya benda tersebut dapat langsung melakukan interkoneksi percakapan pada tingkat sentral lokal, tanpa harus membayar interconnection fee dan dapat menentukan tarif seenaknya dengan tarif sambungan tetap (fixed line). Jelas saja akibatnya biaya pulsa menjadi murah. Bagaimana dengan selular yang biasa? Yang saya tahu, karena kebijakan yang ada mereka tidak mungkin melakukan interkoneksi percakapan langsung ke sentral lokal. Mereka hanya mungkin melakukan interkoneksi pada saluran backbone atau trunk jaringan Telkom, belum lagi di kenai interconnection free yang lumayan, belum lagi berbagai barrier lainnya yang dipasang dalam proses interkoneksi.

Saya berani bertaruh operator selular lain di Indonesia akan dengan senang hati melakukan interkoneksi ke sentral lokal, tidak harus membayar interconnection fee, dapat memberikan pulsa lokal. Tidak seperti sekarang sudah tidak di ijinkan melakukan terkoneksi tersebut ditambah di kenai persaingan yang tidak sehat pula. Padahal jika di ijinkan maka pulsa selular jelas akan menjadi murah, akibatnya pelanggan selular pun akan happy. Tampaknya sebuah ketidak adilan dalam industri telekomunikasi sedang terjadi di Indonesia.

Distorsi industri telekomunikasi bakalan lebih parah lagi jika pengembangan CDMA2000 1x Evolution Data Only (Ev-DO) di kembangkan ke arah All-IP network atau Internet yang akan di kenal sebagai teknologi selular 4G. Bahkan bulan April 2003 lalu, Ericsson melaporkan telah berhasil mengintegrasikan CDMA2000 dengan wireless Internet WiFi di frekuensi 2.4GHz & 5.8GHz bersama China Unicom di Jiangsu, Anhui, Sichuan, Yunnan dll. Artinya CDMA2000 juga berpotensi untuk menghancurkan tatanan industri Internet Servis Provider (ISP) di Indonesia.

Jelas semua perubahan ini merupakan tantangan bagi Agum & Djamhari beserta jajarannya, kearifan mereka di uji untuk menentukan arah industri telekomunikasi Indonesia agar tidak di dikte & tidak di permainkan oleh sebuah operator besar. Naga-naga-nya UU 36/1999 perlu di revisi lagi. Kegagalan menentukan kebijakan akan menentukan nasib Agum & Djamhari sesudah 2004. Semoga mereka di beri kekuatan & rahmat-Nya. Amin.

(Dikutip dari library nya Mr Onno Purbo)